Buku saku ini hadir sebagai panduan yang kuat dan relevan bagi perempuan dan transpuan pengguna NAPZA di Asia Tenggara, khususnya untuk meningkatkan kesadaran tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR). Dalam buku saku ini, kita akan menelusuri perjalanan tiga karakter utama—Arlinn, Tiffani, dan Melisa—yang menghadapi berbagai tantangan dan hambatan dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Melalui cerita yang diangkat, buku ini mengajak pembaca untuk memahami lebih dalam tentang stigma dan diskriminasi yang sering kali melekat pada perempuan dan transpuan pengguna NAPZA, serta hambatan budaya dan struktural yang menghalangi akses ke layanan kesehatan. Dengan gaya bahasa yang ringan, mudah dimengerti, dan dilengkapi dengan ilustrasi menarik, buku ini memberikan edukasi mengenai pentingnya mengatasi kesenjangan hak kesehatan seksual dan reproduksi, peran organisasi masyarakat sipil (OMS), serta cara memanfaatkan media untuk memperkuat suara kita.
Buku saku ini juga menyoroti pentingnya pemberdayaan dan perayaan terhadap pencapaian bersama, sambil mendorong semua pihak untuk bertindak nyata demi mendefinisikan ulang HKSR yang lebih inklusif dan adil.
Diterbitkan oleh Yayasan SPINN dengan dukungan dari PKBI Nasional dan didanai oleh IPPF, buku ini adalah upaya untuk memperkuat kapasitas dan pengetahuan masyarakat tentang HKSR, serta menjadi alat advokasi untuk perubahan yang lebih baik. Yuk, buka halaman demi halaman dan temukan bagaimana kita bisa bersama-sama membuka jalan dan merangkul hak kita!
Kesehatan seksual dan reproduksi adalah komponen penting dalam peningkatan kualitas hidup, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan dan transpuan yang merupakan penyintas NAPZA. Namun, di Indonesia, akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif masih sangat terbatas, khususnya bagi kelompok ini. Stigma dan diskriminasi seringkali menjadi hambatan utama yang menghalangi mereka mendapatkan layanan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, asesmen ini dilakukan untuk mengidentifikasi kesenjangan dan kebutuhan dalam layanan kesehatan reproduksi yang lebih inklusif dan responsif.
Kesehatan seksual dan reproduksi merupakan aspek penting dalam upaya meningkatkan kualitas hidup individu, khususnya bagi kelompok rentan seperti perempuan dan transgender perempuan (transpuan). Namun, akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif dan inklusif masih menjadi tantangan signifikan di Indonesia. Masih banyak kesenjangan dalam penyediaan layanan kesehatan, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan khusus seperti terapi hormonal, layanan aborsi aman, dan konseling kesehatan mental. Selain itu, stigma sosial dan diskriminasi seringkali menghambat kelompok-kelompok ini dalam mendapatkan layanan yang mereka butuhkan. Oleh karena itu, asesmen ini dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan dan kesenjangan layanan kesehatan reproduksi di kalangan perempuan dan transgender perempuan, dengan tujuan untuk memberikan rekomendasi yang dapat meningkatkan aksesibilitas dan kualitas layanan kesehatan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan mereka.
Pada masa pandemi Covid-19 di Indonesia, kekerasan berbasis gender telah meningkat sampai 63%, sedangkan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) naik hampir 300% (Tanjung, 2021). Lonjakan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) tercatat signifikan selama masa pandemi COVID-19 di 2020. Dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2021 yang dirilis pada 5 Maret 2021 oleh Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), tertulis mereka menerima sebanyak 940 kasus KBGO sepanjang 2020, yang menunjukkan peningkatan lebih dari 3x lipat dibanding 281 kasus di tahun sebelumnya.
Perjanjian Pandemi atau Pandemic Treaty telah diusulkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional dalam menanggapi pandemi dan menghadapi ancaman kesehatan global di masa depan. Pada saat pembaruan terakhir pada pada Januari 2022, perjanjian tersebut masih dalam proses pembahasan dan penyusunan, dan rincian tentang isi pastinya belum sepenuhnya ditetapkan. Pada draft Zero dari Pandemic Treaty, belum ada klausul yang khusus mengatur pencegahan dan penanganan KGB di masa pandemi.
Melalui dokumen ini SPINN bermaksud untuk menyampaikan informasi berbasis bukti bahwa selain terjadi pada kalangan perempuan umum, KBG juga terjadi pada kalangan perempuan dan transpuan pengguna NAPZA, termasuk di masa pandemi Covid-19. Dokumen ini akan diberikan kepada Kementerian Kesehatan yang menjadi leading sector terkait Pandemic Treaty di Indonesia sebagai bahan masukan. Dan juga kepada Komnas Perempuan sebagai masukan informasi sehubungan situasi KBG pada kelompok perempuan dan transpuan penggunaNAPZA di masa pandemi.
Yayasan Suar Perempuan Lingkar Napza Nusantara (SPINN) yang lebih dikenal dengan sebutan Womxn’s Voice, merasa prihatin dengan situasi nasional dan global terkait cara penanggulangan Narkotika dan kebijakan yang berlaku di Indonesia. Melalui dokumen ini Womxn’s Voice bermaksud untuk menyampaikan informasi berbasis bukti kepada perwakilan pemerintah dan masyarakat sipil yang akan mengikuti pertemuan CND pada bulan Maret 2024 yang akan datang.
Pada bulan September 2023, Womxn’s Voice menginisiasi kegiatan “Seminar & Diskusi Nasional Perempuan Pengguna NAPZA Untuk Reformasi Kebijakan Narkotika” yang diikutii oleh 54 (lima puluh empat) individu perempuan dan transpuan penyintas Narkotika dari 13 (tiga belas) provinsi di Indonesia. Dalam kesempatan tersebut Womxn’s Voice melakukan asesmen cepat terhadap 54 (lima puluh empat) responden untuk mendapatkan gambaran terkini tentang situasi dan kebutuhan khusus perempuan (termasuk transpuan) pengguna Narkotika. Hasil dari asesmen cepat ini disajikan dalam dokumen ini untuk bahan advokasi dan infromasi tentang situasi penanggulangan Narkotika dari perspektif organisasi perempuan.
Program shelter inklusif gender dari Womxn’s Voice, memiliki tujuan untuk mengembangkan sistem pendukung untuk menyediakan lingkungan di mana perempuan dan trasngender pengguna Napza dapat mengalami hubungan yang sehat, dan juga membangun layanan pengurangan dampak buruk berbasis komunitas dengan perspektif gender melalui shelter terpadu yang menyediakan tempat yang aman, bebas penilaian untuk bersantai dengan ruang ramah anak, menyediakan kebutuhan harian di shelter, dan memiliki keterkaitan dengan layanan rujukan yang diperlukan Keberadaan shelter ini memiliki tujuan jangka panjang. Yaitu pemberdayaan perempuan, transpuan, yang menggunakan Napza, termasuk mereka yang berada di kelompok yang lebih muda, untuk dapat merespon kekerasan berbasis gender dan untuk mengakses layanan kesehatan serta layanan ketergantungan Napza.
Dengan adanya shelter ini diharapkan perempuan dan trasnpuan pengguna Napza dapat lebih memperjuangkan hak mereka atas keadilan sosial dan inklusi gender. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dilaksanakanlah asesmen Asesmen Cepat Situasi dan Kebutuhan: “Shelter Inklusif Gender untuk Perempuan dan Transpuan Pengguna Napza yang Hidup dengan atau Berisiko Tinggi terhadap HIV”. Kegiatan asesmen cepat ini adalah bagian dari program Womxn’s Voice yang dikembangkan, bukan suatu penelitian tersendiri. Dengan adanya hasil asesmen cepat ini, jenis layanan dan fasilitas yang disediakan oleh shelter bsa lebih tepat sasaran dan sesuai kebutuhan.
Proyek penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan kehidupan perempuan dan transpuan pengguna NAPZA. Liebenberg (2018) menyatakan bahwa tujuan proyek PHOTOVOICE adalah untuk;